Setelah menidurkan anak-anak di kamarnya, aku kembali menekuni layar laptop untuk menyelesaikan artikel pesanan yang sudah ditunggu klien e...
Setelah menidurkan anak-anak di kamarnya, aku kembali menekuni layar laptop untuk menyelesaikan artikel pesanan yang sudah ditunggu klien esok pagi. Sayup terdengar lagu Fadednya Alan Walker mengalun dari ringtone gawaiku. Sekilas kulirik jam digital di meja, 23.04. Siapa pula yang menelpon malam-malam begini.
Suara ringtone masih terdengar ketika kuberanjak dari kursi meja kerja untuk meraih benda itu di nakas samping tempat tidur. Kulirik suamiku yang tertidur dengan dengkuran halus, bergeming dengan ringtone yang mengusik malam.
Bunyinya mati ketika kuraih. Terlihat missed call dari Kak Errin. Seketika perasaanku tak karuan. Sambil gemetar, kuhubungi balik Kakak perempuanku satu-satunya itu. Nada sambung terdengar, tapi tak diangkat. Sekali, dua kali sampai sekitar lima kali menghubungi tak juga diterimanya.
'Kak, ada apa denganmu?' Pikiranku kalut. Aku harus menemui Kak Errin.
Dengan mengendap, kusambar jaket dan kunci motor. Aku tidak mau membangunkan orang rumah. Udara dingin seketika menusuk tulang ketika kupacu motor menembus gelapnya malam Desa Leuwiliang. Dalam waktu lima belas menit sampailah di rumah Kak Errin.
Pintunya tertutup, tapi lampu ruang depan nampak menyala. Aku membuka pintu pagar yang tidak terkunci. Sambil mengintip melalui kaca nako kucoba lagi menghubungi Kak Errin, tapi kali ini nadanya tak tersambung. Melalui celah jendela yang terbuka, lamat-lamat kudengar seseorang terisak. Tak salah lagi itu suara Kak Errin. Feeling saudara sedarah mengatakan ada yang tak beres. Kuketuk pintu berkali-kali, “Assalamualaikum Kak, ini Gladys. Buka pintunya!”
Dengan sekali sentak pegangan pintu terbuka. Aku menghambur ke dalam dan mendapati Kak Errin sedang menangis sambil duduk menyusui si bungsu, Akmal, di lantai ruang tamu. Sedangkan si sulung terlelap di depan televisi.
“Kak, tadi ada apa telepon aku?” Kak Errin hanya menggeleng sambil menunduk. Wajahnya tertutup rambut.
“Kak? Kakak enggak apa-apa? Kok nangis?” Aku memeluknya sambil menyibakkan sebagian rambut yang menutupi wajahnya.
“Astaghfirullah!” Aku memekik ngeri. Sebagian wajahnya biru legam, memar seperti dihantam benda tumpul. Ada benjolan sebesar telur di dahinya.
“Kaaak ...!” Aku meraung sedih.
“Ini pasti perbuatan jahanam itu kan? Sudahlah Kak tidak pantas suami seperti itu dipertahankan!” kataku gemas.
“Kakak enggak pa-pa Dek, sebentar juga sembuh. Abang juga sudah meminta maaf sambil mencium kaki Kakak. Katanya Abang masih mencintai Kakak. Buktinya sekarang dia pergi ke apotek 24 jam untuk cari obat mengobati luka ini.” Kak Errin masih saja membela abang Ringgo, suaminya.
“Bukan begini caranya mencintai, Kak. Sudah berkali-kali Kakak hampir mati. Abang sakit jiwa Kak. Tinggalkan saja manusia jahanam seperti itu, kalau perlu Adek lapor polisi!” kataku berapi-api.
“Jangan Dek, kasian Abyan dan Akmal kalau ayahnya dipenjara,” ujar Kak Errin lirih sambil mengelus Akmal.
Air mata meleleh di ujung netra, tak sanggup lagi berkata-kata. Kuraih tubuh ringkihnya sambil berurai air mata. ‘Ya, Allah bahkan orang tua sendiri pun tak pernah memukul kita, Kak.’ Batinku menangis melihat kondisi Kak Errin sambil mengingat orang tua yang telah berpulang.
***
Perkawinan Kak Errin dengan Bang Ringgo memang sudah bermasalah sejak awal. Bang Ringgo diketahui telah mempunyai istri ketika menikahi Kak Errin. Kondisi sebenarnya baru terkuak ketika resepsi ada seorang wanita yang mengaku sebagai istri sahnya Bang Ringgo datang dan mempermalukan keluarga kami di depan tamu undangan. Kakakku yang lembut dan berhati mulia menerima segala kekurangan dan kebohongan suaminya pasca menikah. Ia tidak mau menghianati ijab kabul yang disaksikan oleh malaikat. Kak Errin menerima semuanya lapang dada karena lillah.
Selama menikah dengan Bang Ringgo, kakakku banting tulang membuka usaha jahit. Kadang sampai malam menyelesaikan pesanan jahitan demi mencukupi uang belanja dan sekolah Abyan sehari-hari. Bang Ringgo sendiri hanya sesekali bertandang karena lebih sering berada di rumah istri pertama. Penghasilannya sebagai mandor proyek jauh dari memadai untuk menghidupi dua keluarga.
Sifat kasar Bang Ringgo sebenarnya sudah sering terlihat selama pernikahannya dengan Kak Errin. Sudah tak terhitung berapa kali Kakak kena tampar atau tendang kalau ada sesuatu yang salah di mata Bang Ringgo. Kami sekeluarga menyarankan agar Kak Errin berpisah dengan laki-laki itu, tapi Kak Errin bersikeras bertahan demi Abyan dan Akmal.
***
Dua minggu kemudian
"Kak, maafkan Adek ya." Sambil beristirja aku memandikan jenazah yang terbujur kaku di ruang pemulasaraan.
‘Titip salam untuk ibu dan ayah.’ Batinku tak hentinya menangis.
“Bu, ini surat pengantar kematiannya Bu Errin,” ujar Dokter yang memeriksa Kakak pertama kali di UGD,
'Almarhumah didiagnosa meninggal akibat fraktur pada rusuk yang menembus jantung.'"
End
Cerita ini versi fiksi dari kisah nyata pasiennya dr. Gia Pratama. Semoga dapat diambil ibrahnya bagi wanita-wanita hebat di luar sana yang mengalami kondisi rumah tangga serupa.
Bekasi, 11.11.18
Ya Allah, sedih banget bacanya.
ReplyDeleteAsli, nyesek yang nulis juga sedih
DeleteYa Allah mbak...
ReplyDeleteSaya nyesek bacanya..
Huaah... Sesak...
Inhale ... exhale ... Mbak 😊
DeleteSetiap kali mendengar kisah KDRT, rasanya hatiku ikut sakit. Ada rasa tidak bisa menerima jika saudariku diperlakukan seperti itu. Padahal, seorang suami seharusnya menjadi pelindung bukan justru menjadi monster menakutkan. Satu pesanku untuk kaumku. Please speak out. Suarakan dengan lantang jeritan hatimu. Bukan, ini bukan hanya untukmu tapi juga untuk banyak perempuan di muka bumi ini.
ReplyDeleteIya Bun, liat postingannya dr. Gia ya Allah tega banget suaminya ... Banyak yang masih nutupin kdrt karena dianggap aib
DeleteYa Allah ya Rabbi
ReplyDeleteSad 😢
DeleteKeren
ReplyDeleteMakasih Kang 🙏
DeleteYa ampun mbaaaa keren banget ceritanya, pun fiksi dari cerita dr. Gia. Mantaaap mbaaa
ReplyDeleteMakasiih Mbaak 😍😘
DeleteHidup itu pilihan...
ReplyDeleteBanyak perempuan mempertahankan rumah tangganya demi anak, meski harus menerima tekanan dari pasangan.
Tapi kadang mereka tak sadar bahwa anak² sebenarnya membutuhkan seorang ibu yg sehat & bahagia secara psikologis, bukan semata-mata "pura² bahagia..." :(
'Pura-pura bahagia'... 😢
DeleteSemoga Allah selalu memberikan kekuatan pada istri yang mungkin harus menghadapi situasi rumah tangga yg demikian.
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteCerita nya menyedihkan. Tapi cara memceritakan keren bgt. MasyaaAllah
ReplyDeleteTabarakallah makasihh Mbak 😊
DeleteCampur baur antara ngilu, kesal dan sedih. Btw, bagus banget penuturan ceritanya mbaaa
ReplyDeleteHai, Mbak Inna ... Makasihh 😊
Deleteya Alloh sedih banget, menyayat hati banget plus campur kesal bin pengin marah serasa nyata dan ini mungkin banyak di dunia nyata
ReplyDeletebagus mbak cerpennya..suka
Baca ini emosi saya campur aduk antara gregetan, gondok, tapi jg sedih. Kenapa wanita memilih hidup sprti itu memang setiap org berhak menentukan pilihan hidup sendiri tapi haruskh hidup spt itu 😩
ReplyDeleteBTW top bangget cara ceritaainnya..
Semangat sukses selalu mb 😊
Sedih baca ceritanya mb..mesti pas nulis brebes mili ya mb....😢
ReplyDeleteSedih bacanya. Realita hidup memang. Makasih udah sharing, Mbak.
ReplyDeleteEhm... ini yg sering aku lihat d sekitar
ReplyDeletePengin nolong korban kdrt tp yg ditolong g mau
Pdhl dah memar baik fisik maupun batin
Deuh antara kesel sm kasihan sbenerny
Hubungn yg sprti itu tentu g sehat
Ya Allah... Nyesek bacanya. Laki-laki macem gitu kenapa mau sih? Duuh.. Gemes deh.
ReplyDelete