Pinterest Arumi berjalan limbung dalam kegelapan sempit lorong kota. Pandangannya kabur, berusaha mencari cahaya dalam pekatnya malam. Piki...
Arumi berjalan limbung dalam kegelapan sempit lorong kota. Pandangannya kabur, berusaha mencari cahaya dalam pekatnya malam. Pikirannya nyalang mencari tahu, kenapa dia berada dalam labirin lorong tak bertepi.
Bau amoniak menyengat hidung. Sementara, sampah bertebaran di mana-mana. Pelan tapi pasti, ingatannya kembali. Stefani, rival yang iri dengan kecantikannya lah yang meracuni, memukuli wajahnya, serta melemparnya ke jalanan tanpa ampun.
Makhluk itu memicingkan netranya, sepertinya ia melihat ada cahaya di ujung lorong. Sambil setengah merangkak, ia memaksa tubuhnya bergerak maju.
“Aku tidak mau mati di sini.” Batinnya menangis.
Kesadaran Arumi hampir pulih ketika sampai di ujung lorong. Ia melihat deretan toko-toko dan orang yang lalu-lalang. Tapi, tak ada satu pun yang peduli. Mereka melihatnya dengan jijik, seolah-olah Arumi bukan makhluk Tuhan. Sambil terseok, ia kembali berjalan hingga sampai pada sebuah pintu toko yang tertutup. Tangannya tak sanggup menggapai pegangan pintu. Ia hanya bisa meringkuk sambil menahan udara bulan November yang basah.
Entah, sudah berapa jam tertidur di depan pintu sampai seseorang mengangkat dan memasukkannya dalam kardus. Dengan sisa-sisa tenaga, ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman orang yang wajahnya tertutup masker itu.
“Stt, jangan banyak bergerak. Aku akan bawa kamu ke tempat yang aman.” Kedengarannya seperti memaksa.
Arumi ingin melepaskan diri. Tangannya meronta-ronta. Tapi tenaganya tak cukup kuat untuk sekedar menopang tubuh. Dirinya merasa dibawa berputar-putar, sementara raganya terguncang dalam kardus yang sempit.
Setelah bermenit-menit tersiksa, kendaraan yang membawanya berhenti. Arumi merasakan kardus diturunkan, diseret, dan akhirnya berhenti.
Seseorang terdengar begitu girang sambil merobek kardus.
“Arumi! Akhirnya Papa menemukanmu!”
“Meooonggg ...”
COMMENTS