Pinterest Sudah beberapa bulan perasaan ini begitu mengganggu. Dorongan ingin memiliki seseorang untuk dikasihi begitu kuat, tapi aku tak c...
Sudah beberapa bulan perasaan ini begitu mengganggu. Dorongan ingin memiliki seseorang untuk dikasihi begitu kuat, tapi aku tak cukup bernyali bahkan untuk sekedar berkata halo kepada gadis mana pun. Menyadari posisi sebagai tukang pecel lele jalanan tak sebanding dengan dia yang di mataku tampak sempurna.
Aku mengenal gadis itu lewat media sosial. Penampilannya yang manis dan kekinian menjadi magnet untuk laki-laki balig seusiaku. Swafoto ala K-Pop yang bertebaran di akun Instagramnya sungguh membuat pria mana pun menelan ludah. Bagaimana tidak, pose menjulurkan lidah dengan pakaian mini mampu membuat laki-laki berfantasi yang tidak-tidak.
Awalnya, hanya dengan melihat apakah gadis yang kuincar lampunya berwarna hijau di layar pipih saja dapat membuat dada berdegup kencang dan darah berdesir. Menyedihkan bukan? Sejak itu aku jatuh cinta atau kecanduan tepatnya.
Bagi laki-laki yang urat malunya kurang baja dan mempunyai hati setipis kaleng, menjadi penguntit dunia maya sudah cukup. Jangan sampai jempol ini nekat nge-like, komen, atau mengirim emot love. Tak terbayang malunya kalau sampai ketahuan stalking.
Sejauh ini aku hanya berani bermimpi dan mulai membayangkan bersanding dengannya atas nama semu. Padahal bisa saja kan akun gadis itu palsu? Tapi, aku tak peduli. Cinta agaknya membuat akal sehat menumpul.
Seluruh akun media sosial yang terkoneksi dengannya tak luput dari pengamatan. Bermodal smartphone made in China, kuota, serta selembar lima ribuan untuk membeli kopi saset, cukup untuk menemani berselancar semalaman demi menelusuri jejak digitalnya.
Semakin jauh menelusuri profilnya, rasa ini semakin dalam dan malah semakin menyiksa. Kadang cemburu dengan akun lain yang berkomentar tak pantas terhadap gadis yang kucintai secara virtual. Apalagi bila si dia membalas dengan nada menggoda, kecemburuan itu membabi-buta dan dapat membuat mood berantakan sepanjang hari. Entah, sudah berapa akun palsu yang kubuat untuk menyerang akun yang tak senonoh kepada gadisku. Perasaan yang aneh, bukan?
Aku yang merasa tak cukup punya nyali untuk menghadapi penolakan di dunia nyata, menganggap dunia maya tempat persembunyian sempurna untuk menutupi keadaan sosial yang sebenarnya. Yap, hanya di dunia maya aku bisa berpura-pura menjadi seseorang yang keren dengan mencomot foto-foto milik orang lain.
Makin lama perasaan ini begitu menggebu. Hingga rela menyisihkan uang lelah hasil berjualan pecel lele untuk membeli kuota. Berbekal foto profil hasil comotan, aku memberanikan diri berkenalan.
Gayung bersambut. Setiap malam kami chatting via medsos layaknya sepasang kekasih. Uang ratusan ribu melayang demi membelikan kuota pujaan hati.
Rindu yang memuncak, membuat dua insan yang mabuk kepayang membuat janji untuk bertemu.
Naluri syahwat menuntun untuk berani menemuinya di sebuah hotel kelas melati di pinggiran kota demi memuaskan birahi. Tibalah hari dan tempat yang sudah kami sepakati bersama untuk bertemu.
Tepat pukul 13:00 datanglah seorang gadis berpakaian seronok untuk cek in. Tapi dari ciri-ciri yang diberikan tidak sesuai dengan yang diberikan oleh si dia. Aku yang duduk di lobi semakin membenamkan diri dalam jaket, topi, dan kacamata hitam ketika seorang gadis datang sesuai dengan ciri-ciri yang diberikan.
‘Tt–tapi ... tidak mungkin!’
“Rani ... ngapain kamu ke sini?”
“Lo, Ayah sendiri ngapain?”
#challengealumnikpk
COMMENTS