Pinterest Pukul 17. 15 Oktober 2012 Setiap hari tepat di jam yang sama, aku selalu kembali ke tempat ini. Sebuah danau kecil dengan derm...
Pukul 17. 15
Oktober 2012
Setiap hari tepat di jam yang sama, aku selalu kembali ke tempat ini. Sebuah danau kecil dengan dermaga kayu di ujungnya. Suasananya begitu tenang, sehingga seolah-olah aku merasa dapat mendengar daun-daun mata berbisik.
Seperti sore ini, sinar matahari sore tampak malu-malu menembus pucuk daun. Sambil duduk pada ayunan bertali yang dikaitkan pada sebuah dahan kokoh pohon mata, pandanganku menyapu seluruh area danau. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sesosok anak kecil berkaca mata berusia sekitar dua belas tahun. Wajahnya tirus, dengan rambut ikal menyembul dari balik topi baseball-nya. Langkahnya cepat dan terburu-buru menuju ke ujung dermaga. Di tangannya penuh dengan peralatan melukis.
Sepertinya anak itu tak mengacuhkan keberadaanku. Mukanya terlihat serius sambil tangannya piawai melukis di atas kanvas. Dan sejak hari ini dan seterusnya pada jam yang sama, aku selalu melihatnya duduk melukis di ujung dermaga.
Meski pun tak pernah menyapa, aku mengaguminya. Menyukai setiap gerakan tangannya yang luwes bermain dengan kuas. Dan hasil lukisan pemandangan alamnya sangat indah, sesuai dengan warna aslinya. Kadang-kadang, ia juga melukis burung yang kebetulan melintas atau daun gugur di atas permukaan danau.
Kami benar-benar tak pernah bertegur sapa meski pun setiap hari berpapasan. Bahkan sampai hafal aroma tubuhnya. Lama-lama aku terbiasa dengan keberadaannya. Oh, iya perkenalkan namaku Selasih usiaku tujuh belas tahun.
Pukul 17. 15
Oktober 2018
Enam tahun berlalu. Aku masih menyukai tempat yang sama. Danau dengan dermaga kecil di ujungnya. Hari ini rinnai hujan menyempatkan datang menyapa. Meninggalkan sore yang lembab dengan matahari tertutup awan. Tapi aku tetap mengunjungi tempat ini, kali ini berharap bertemu seseorang.
Aku yakin dia akan datang seperti sore-sore yang lalu. Berdua menikmati senja sambil merasakan angin semilir. Tentunya dari tempat yang berbeda. Dia setia dengan tempatnya di ujung dermaga, sedang aku setia pada ayunan di pohon mata.
Sepertinya aku jatuh hati padanya. Pada sosok pria yang setiap sore datang dengan peralatan lukisnya. Usianya sekitar delapan belas tahun. Wajahnya terlihat serius, tapi sebenarnya sangat tampan di balik kaca mata perseginya.
Entahlah, tapi pesona yang dipancarkan lelaki itu seperti membiusku. Laksana aroma burung bughat yang menarik serangga dan ulat kecil sebagai makanannya. Dan aku termasuk ulat kecil yang terpikat sejak enam tahun yang lalu.
Ya, ia adalah orang yang sama sejak pertama kali aku melihatnya. Lelaki kecil berkacamata itu telah menjelma menjadi sosok tampan berpostur tegap. Walau pun tak pernah secara resmi berkenalan, aku sudah menganggapnya sebagai belahan jiwa.
Meski aku tak pernah tahu siapa namanya, karena kami berbeda ... dimensi.
Aku , Selasih, usia tujuh belas tahun.
Lahir Oktober 1995 - Wafat 2012.
COMMENTS