Lebaran tinggal menunggu hitungan hari. Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut hari kemenangan termasuk di antaranya mudik atau pulang...
Lebaran tinggal menunggu hitungan hari. Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut hari kemenangan termasuk di antaranya mudik atau pulang kampung.
Mudik bagi masyarakat Indonesia tidak sekadar tradisi, tetapi lebih dari itu maknanya. Mudik mengingatkan pribadi untuk kembali mengingat asal usul keluarga setelah merantau ke daerah lain bertahun-tahun. Bukan seperti kacang lupa akan kulitnya. Bertemu orang tua dan sanak saudara lainnya adalah hal yang sangat dinanti-nanti. Ribuan kilo ditempuh dengan segala kondisi kemacetan dan kelelahan demi untuk menjalin silaturahmi yang terputus.
Ketahuilah bahwa silaturahmi merupakan jalan untuk memperpanjang umur serta membuka pintu rezeki. Mudik yang bermanfaat di dunia dan akhirat apabila niatnya untuk beribadah semata demi meraih rida Allah SWT.
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan ditambah umurnya, maka hendaklah melakukan silaturrahmi”.
Seringkali arti kata mudik sendiri disalahartikan oleh sebagian besar masyarakat sehingga maknanya menjadi berkurang. Keutamaan beribadah di bulan puasa seperti mengejar malam-malam mulia di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan menjadi terabaikan karena sibuk dengan urusan menyiapkan perlengkapan mudik.
Keinginan untuk tampil beda di kampung lebih mendominasi. Esensi utamanya menjadi bergeser menjadi ajang pamer. Tak jarang urusan penampilan menjadikan masyarakat rela merogoh kocek dalam-dalam untuk menunjang penampilan. Meskipun uangnya dari hasil berutang di Pegadaian, wallahu'alam.
Apabila dikembalikan ke dalam ajaran Islam sendiri, tidak ada dalil yang menyatakan harus bermaaf-maafan atau bersilaturahmi setelah berpuasa di bulan Ramadan baik di dalam Alquran maupun As Sunnah. Silaturahmi dapat dilakukan kapan saja menyesuaikan kondisi. Namun apabila tradisi mudik dilakukan karena menyesuaikan dengan hari libur serentak, hal ini boleh-boleh saja.
Hal yang sebaiknya dihindari pada waktu mudik:
1. Ajang pamer pakaian, kendaraan, maupun perhiasan berlebihan demi menunjukkan status 'sukses' sebagai perantau.
2. Dalam melakukan kunjungan silaturahmi seringkali kegiatan yang dilakukan adalah pergaulan antar laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.
3. Menyiapkan makanan dan minuman yang berlebih-lebihan.
Ingatlah bahwa niat mudik yang utama adalah untuk melakukan kunjungan kepada orang tua. Seringkali karena kesibukan mencari nafkah dan mengurus keluarga, orang tua terabaikan. Padahal keutamaan mengurus orang tua adalah ibadah utama setelah beribadah terhadap Allah Ta'ala.
Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثم يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثم يُوْصِيْكُمْ بِآبَائِكُمْ ثُمَّ يُوْصِيْكُمْ بِاْلأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ
“Sesungguhnya Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, lalu Allah berwasiat agar berbuat baik kepada ibu-ibumu, kemudian Allah berwasiat kepada bapak-bapakmu, dan kemudian Allah berwasiat kepada kalian agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu”.
Mari kembali kita luruskan niat dalam mengikuti tradisi tahunan mudik. Semoga kita terhindar dari perbuatan sia-sia dan apa yang kita upayakan tercatat sebagai amal ibadah untuk meraih rida Allah SWT. Aamiin.
Wallahu a'lam bishawab.
COMMENTS