Courtesy of TribunManado Dan apabila DIA berkehendak, maka “Jadilah!” (QS. Yaasiin:82) Pagi ini terasa berbeda ...
Dan apabila DIA berkehendak, maka “Jadilah!” (QS. Yaasiin:82)
Pagi ini terasa berbeda bagi Rumi. Hujan deras yang turun sejak semalam menyisakan tanah basah dan licin. Kakinya melangkah menuju area tambang emas Desa Bakan, Sulawesi Utara, dengan tergesa. Bukan perkara mudah bagi anak perempuan berusia empat belas tahun itu berjalan menanjak dengan alas seadanya. Tak dihiraukan air hujan menghunjam, menerpa perih kulit telanjangnya yang kecokelatan. Rumi tiba di lokasi dengan menumpang mobil aparat untuk menemui ibu yang tidak pulang sejak kemarin. Mamak terjaga sepanjang malam di lokasi runtuhnya tambang yang menelan puluhan penambang liar termasuk ayahnya, Rusdi Mamonto.
Lokasi bencana dipenuhi oleh masyarakat, perangkat desa, dan tim SAR. Matanya nyalang mencari sosok yang disayanginya. Di antara kerumunan, Rumi mengenali punggung yang tak lagi kokoh sejauh tiga langkah. Empunya sedang berdiri terpaku, menatap mulut tambang selebar enam setengah meter.
"Maak!" serunya melawan suara angin.
Mamak bergeming, sepertinya ia hanya ingin memintal harapan; sendirian.
Mamak bergeming, sepertinya ia hanya ingin memintal harapan; sendirian.
"Sudahlah, Mak. Tak perlu meratap terus. Kasihan adik-adik. Mereka cemas menunggu Mamak di rumah."
Kali ini suaranya melunak, walaupun nadanya terdengar naik turun karena menahan perasaan.
Kali ini suaranya melunak, walaupun nadanya terdengar naik turun karena menahan perasaan.
Rumi terdiam. Menunggu Mamak merespon ucapannya. Nihil. Tak sepatah kata pun terdengar. Tubuh itu tak jua berpaling. Bapak bagi mamak segala-galanya. Rumi dapat merasakan hati wanita itu patah. Berita tentang runtuhnya tambang emas tempat bapak mencari nafkah membuat mamak syok. Ia tak siap mendengar berita duka tersebut. Ada empat anak yang masih bergantung kepada ayahnya.
Rumi memutuskan mendekati mamak yang akhirnya menoleh. Wajah sembabnya sebagian tertutup anak rambut yang menari tertiup bayu. Pada netra perempuan itu tersirat kecemasan, kepedihan, sekaligus kekhawatiran tak terperi.
"Kenapa Bapak belum juga ditemukan? Mungkin mereka mencari di tempat yang salah. Mamak tak tega meninggalkan ayahmu menderita di dalam sana. Ia menunggu diselamatkan.” Air mukanya mengeras.
"Sabar, Mak. Tim SAR dan aparat desa telah bekerja keras mencari para korban."
"Bapakmu sangat mengenali tempat itu. Ia hafal lorong-lorong yang saling terkait di dalam tambang itu. Mamak yakin Bapak bisa keluar." Pernyataannya seolah hanya untuk menghibur dirinya sendiri.
"Sudahlah Mak, serahkan semuanya pada yang berwenang. Kitorang hanya bisa pasrah dan berdoa."
Rumi mencoba mengurai kekalutan ibunya, walaupun kondisinya sendiri tak jauh berbeda.
Rumi mencoba mengurai kekalutan ibunya, walaupun kondisinya sendiri tak jauh berbeda.
***
Hari sebelumnya ...
Pukul 15.55
Pukul 15.55
Sementara di dalam tambang, tak ada lagi yang dapat Rusdi lakukan kecuali berserah diri. Lisannya berlumur zikir, berharap lantunnya dapat mengetuk pintu langit. Sementara, kedua rekannya terisak dalam diam. Serpihan material longsor membuat udara pekat dengan debu. Terjebak dalam gelap di celah berukuran tiga kali tiga meter persegi, membuat ia dan kedua rekannya bergantian melipat dan meluruskan kaki. Sungguh, peristiwa menakutkan yang telah menimbun rekan-rekan sesama penambang empat puluh lima menit yang lalu menyisakan trauma.
Rusdi merasakan tubuhnya mulai melemah, haus mendera, ditambah dengan jarak pandang yang terbatas. Rasanya oksigen pun mulai menipis. Dalam kondisi demikian tidak ada lagi yang dapat dilakukan, malaikat maut dapat kapan saja menjemput. Ia mengingat kehidupan berjalan normal pagi itu. Meninggalkan rumah pukul enam menuju tambang Busa sejauh puluhan kilometer. Bersama dengan penambang lain, menumpang kendaraan bak terbuka yang disewa beramai-ramai. Sudah tujuh tahun ia menjalani profesinya sebagai penambang emas ilegal.
Kondisi jalan yang rusak membuat perjalanan menuju area tambang memakan waktu hampir dua jam. Pukul delapan, laki-laki itu memulai aktivitas menambang. Minimnya peralatan membuat pekerjaannya berisiko tinggi. Hanya menggunakan ember, sekop, linggis, dan palu kecil untuk menggali tanah dan batu dalam jalur yang saling berkaitan. Apabila beruntung, di antara bebatuan itu terdapat bijih emas.
Lingkaran pipih di pergelangan tangan Rusdi menunjukkan pukul 15.10 ketika kerakal mulai berjatuhan. Instingnya sebagai penambang senior memberitahu bahwa longsor akan terjadi. Ia memberi aba-aba agar rekan-rekannya segera meninggalkan lokasi. Namun, malang tak dapat ditolak, dalam hitungan detik material batu dan tanah jatuh menimpa enam orang dalam ruang sempit. Belum lagi puluhan yang terjebak di titik lainnya. Teriakan kepanikan menggema di lorong bawah tanah. Menyisakan pilu bagi siapa saja yang mendengar. Beruntung Rusdi dan kedua rekan perantau dari Jawa, Tawakal dan Agus, berhasil berlindung di celah.
Ayah Rumi itu mengingat tiga puluh menit pertama setelah kecelakaan adalah hal yang paling mengerikan baginya. Teriakan kepanikan bergema di mana-mana. Permintaan tolong bercampur dengan rintih kesakitan serta seruan takbir memenuhi gendang telinga. Pada akhirnya suara-suara tersebut menghilang, menyisakan senyap.
“Bertahan, ya. Kasihan anak istri di rumah.”
Berulang kali Rusdi berusaha membangkitkan semangat kedua rekannya. Mereka hanya mengangguk lemas dengan wajah pias tertimpa cahaya suram headlamp yang hampir habis daya. Rasanya sangat sulit untuk dapat hidup dalam situasi demikian.
Berulang kali Rusdi berusaha membangkitkan semangat kedua rekannya. Mereka hanya mengangguk lemas dengan wajah pias tertimpa cahaya suram headlamp yang hampir habis daya. Rasanya sangat sulit untuk dapat hidup dalam situasi demikian.
Waktu berjalan terasa amat lama, ketiganya terdiam membisu untuk menghemat tenaga dan oksigen. Rusdi baru menyadari ketika isak Tawakal tak terdengar lagi, tubuhnya limbung menimpa Agus yang sedang berjuang untuk terus sadar.
“B-baang, T-tawakal ....”
Agus terbata-bata memberitahu kepergian rekan mereka. Rusdi mengangguk tanda mengerti. Malaikat maut baru saja menjalankan tugas. Lelaki kekar itu kembali memejamkan mata, kali ini bulir bening menganak sunga. Wajah Arumai dan keempat anaknya bermain di pelupuk. Ia mengingat pagi di mana istri dan keempat anaknya mencium takzim tangannya usai salat Subuh.
Agus terbata-bata memberitahu kepergian rekan mereka. Rusdi mengangguk tanda mengerti. Malaikat maut baru saja menjalankan tugas. Lelaki kekar itu kembali memejamkan mata, kali ini bulir bening menganak sunga. Wajah Arumai dan keempat anaknya bermain di pelupuk. Ia mengingat pagi di mana istri dan keempat anaknya mencium takzim tangannya usai salat Subuh.
Bang, bertahanlah. Berusahalah cari jalan keluar!
Rusdi mengerjap, suara Arumai terdengar nyata di telinga. Hal itu membuatnya bertekad untuk selamat. Berbekal pengalaman, ia memperkirakan lokasinya tak lebih dari lima belas meter dari mulut gua.
Semoga saja reruntuhan tidak terjadi di sepanjang jalur penambangan, pintanya dalam hati.
Dengan petunjuk kompas yang ada di saku, Rusdi meminta Agus mengikuti gerakannya. Kemudian mengeluarkan satu-satunya alat tersisa di tools bag yang melingkari pinggang. Dengan sisa-sisa tenaga, ia mulai menyingkirkan material longsor dengan gerakan perlahan agar tidak menimbulkan longsor susulan. Tujuannya menuju ke arah barat di mana ujung tambang berasal. Waktu terasa begitu lambat. Tak peduli betapa banyaknya aral yang melintang, Rusdi dan Agus terus mengayunkan tangan mereka memecah batuan inci demi inci berkejaran dengan waktu.
***
Arumai masih tak beranjak dari tempatnya berdiri di muka tambang. Rasanya tak rela meninggalkan tempat itu meskipun baju yang melekat tak mampu mengusir dinginnya udara di daerah pegunungan. Gigil dan lapar yang ia rasakan tak sebanding dengan penderitaan yang dialami suaminya di dalam sana. Tim SAR serta masyarakat, bahu-membahu mengerahkan segala kemampuan untuk menolong korban yang terjebak dengan membuka akses menuju titik bencana. Tidak dengan alat berat karena dikhawatirkan dapat memicu longsor, tetapi dengan tangan kosong dan peralatan sederhana lain.
Hari semakin gelap. Semuanya mulai merasa putus asa. Tim penyelamat berhasil menyingkirkan reruntuhan sepanjang hampir sepuluh meter, tak lebih, mengingat beratnya medan. Rasanya tak ada harapan lagi. Namun, bagi tim SAR pantang pulang sebelum memberikan ikhtiar yang terbaik. Berpegang pada alat sensor pyroelektric yang bekerja berdasarkan sensor panas tubuh manusia yang tertimbun, mereka mulai berdiskusi mencari alternatif penyelamatan.
***
Setelah tujuh belas jam pencarian, Arumai menangis histeris. Ia merasa Tuhan sedang mengujinya di luar batas kemampuan. Tim SAR memutuskan untuk menghentikan pencarian. Sensor thermal maupun finder heartbeat tidak lagi menunjukkan tanda vital kehidupan korban. Riskan bagi tim untuk terus menerobos tambang karena konturnya yang rapuh. Rumi memeluk mamak kuat-kuat, tak ada lagi tiang penopang keluarga. Rusdi Mamonto bersama pekerja lain pergi memeluk bumi.
Seiring dengan menjauhnya langkah-langkah kaki menjauhi lokasi bencana, tanah kembali bergetar. Arumai tercekat. Dipegangnya kuat-kuat tangan putrinya.
“Ngana bisa rasakan itu, Rumi?” Mereka saling berpandangan.
Bumi sedang ingin bergurau rupanya, batuan yang menutup jalan masuk tambang terlihat bergerak dan terurai.
Bumi sedang ingin bergurau rupanya, batuan yang menutup jalan masuk tambang terlihat bergerak dan terurai.
***
“Baang ... !”
Agus tampak putus asa. Jemarinya terasa kebas. Tak sanggup rasanya melanjutkan. Headlamp tak bisa diandalkan lagi. Suasana gelap gulita .
Agus tampak putus asa. Jemarinya terasa kebas. Tak sanggup rasanya melanjutkan. Headlamp tak bisa diandalkan lagi. Suasana gelap gulita .
“Ayo kwa, ayolah.”
Rusdi menyemangati Agus. Tak ada jawaban. Agus terlampau lelah untuk sekadar menjawab.
Rusdi menyemangati Agus. Tak ada jawaban. Agus terlampau lelah untuk sekadar menjawab.
“Allahu akbar, cahaya! Gus, Ngana lihat itu? Ada cahaya di depan!”
Rusdi memekik tertahan. Perjuangannya membuahkan hasil. Lelaki itu berusaha terus menggeser tubuh menuju cahaya putih berpendar, walaupun napas satu-satu di ujung kerongkongan.
Rusdi memekik tertahan. Perjuangannya membuahkan hasil. Lelaki itu berusaha terus menggeser tubuh menuju cahaya putih berpendar, walaupun napas satu-satu di ujung kerongkongan.
***
Ruangan putih berbau karbol menyengat, mengusik kesadaran. Agus membuka kedua matanya. Air mata luruh seketika mengingat dengan jelas bagaimana Rusdi Mamonto mendorongnya keluar dari lubang tepat sebelum longsor kembali mengubur beliau tanpa ampun.
End.
End.
Sedihh bener mb, jadi kebawa dg cwritanya ...heu heu
ReplyDeleteSedihh bener mb, jadi kebawa dg cwritanya ...heu heu
ReplyDeleteAduh tak bisa membayangkan deh mba. Saya kalau di situ adanya bengong saja tak tahu harus apa.
ReplyDeletePerjuangan hidup yang membuatku harus selalu bersyukur karena tidak menjalani kehidupan sekeras itu. Meski hanya fiksi (atau mungkin non fiksi?) tetapi banyak pelajaran yang bisa diambil.
ReplyDeleteAku ngga tau apakah ini fiksi atau non fiksi, tapi terlepas dari itu, ada banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik dari cerita ini.
ReplyDeleteKeren banget mbak Dewi ceritanya. Saya kayak bisa sambil bayangin dan ceritanya kayak nyata gitu. Apalagi akhir annya, kasihan kalo pak Rusdi ni.
ReplyDeleteCerita ini membuatku banyak bersyukur dengan kehidupan yang kujalani sekarang. Di luar sana banyak banget orang yang harus beryahan hidup dengan beriringan bahaya yang kerap mengintai keselamatan jiwa.
ReplyDeleteDuh, saya ikut deg-degan baca ini dari awal sampai akhir. Deskripsi ceritanya terasa nyata, Mbak. Baguuus. Walaupun sad ending, ya. Rusdi adalah pahlawan!
ReplyDeleteCeritanya berasa banget Mba.. Bisa membayangkan kondisinya. Kisah daerah pertambahan yang membawa kepiluan
ReplyDeleteCeritanya bagus mbak. Terdapat nilai moral yang bisa diambil. God job
ReplyDeleteSampe nahan napas bacanya,, sad ending, entah ini fiksi or non fiksi
ReplyDeleteTapi terasa nyata, Te O pe bangged dah mbak Dewi :)
Lama saya enggak nulis fiksi. Kangen juga jadinya. Suka deh baca karyanya Mbak Dewi. Bikin baper, aku kok sedih baca ini.
ReplyDeleteIni kisah nyata bukan mbak? Serasa baca cerita nyata.. Semoga hanya sekadar fiksi ya, karena nggak tega bayangin Rusdi jadi korban seandainya ini nyata :(
ReplyDeleteEndingnya jleeb
ReplyDeleteSungguh penuh nilai moral cerita ini. Settingnya nyata. Saya suka..
Terus berkarya ya Mbak..Ditunggu cerita lainnya
aku berasa sedihnya baca cerita ini :(
ReplyDeletembaaak... aku baper :(
ReplyDeleteEnding yang cukup menarik. Semangat berkarya mbak
ReplyDeleteCerita yang enak dibaca, jadi pengin baca cerita berikutnya
ReplyDelete