Tertia van Rensburg@unsplash.com Mereka, menatap dari dimensi lain. Pararel, tapi tak tertembus. (Dewi Hepy) 04.45 [“Pppaak ...”] Terdengar ...
Tertia van Rensburg@unsplash.com |
Mereka, menatap dari dimensi lain. Pararel, tapi tak tertembus.(Dewi Hepy)
04.45
[“Pppaak ...”] Terdengar suara terbata di ujung ponsel Hudson, suara Pak Dre.
[“Mmereka ... kembali,” katanya lagi sambil terengah-engah]
[“Pak, tenang. Ambil nafas, buang nafas. Mereka siapa?”]
[Tut ... Tut ... Tut] Sambungan ponsel terputus.
Hudson sangat mengenal Pak Drenadi. Setahun silam dia pernah menangani keluhan kecemasan berlebihan yang dialami Pak Dre sejak kematian Anjelina, putri semata wayangnya yang tak wajar. Meninggal karena kehabisan nafas di sumur halaman belakang rumah mereka sendiri.
Sejak saat itu, hubungan keduanya menjadi lebih dekat. Pria yang menjadi konselor kejiwaan di bagian Psikiatri RSUD wilayah setempat menjadi tempat Pak Dre berkeluh kesah.
Senja baru saja berlalu ketika Hudson sampai di rumah Pak Dre. Pekerjaannya yang padat sangat menyita perhatiannya seharian ini sehingga pria itu baru sempat mampir ketika matahari hampir tergelincir di ufuk barat.
Rumah kuno berlantai dua yang terletak di Desa Cirendeu itu terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang lalu-lalang. Lajur setapak menuju ke rumah besar tampak dipenuhi dedaunan yang berserakan. Langkah Hudson yang menimbulkan suara gemerisik dedaunan kering terhenti sejenak. Hudson terkesiap sambil memandang ke arah rumah, 'Kenapa ada garis batas polisi yang melintang di pintu?'
Suasana sesaat setelah magrib begitu hening dan suram. Ekor mata pemuda itu menangkap seseorang yang mendekat ke arahnya, laki-laki bertubuh gempal dengan kaca mata melorot sampai ke ujung hidung.
“Maaf, Anda mencari siapa? Saya detektif Andro dari kepolisian sektor setempat.”
“Saya Hudson Pak, dari bagian psikiatri rumah sakit umum ...," katanya memperkenalkan diri.
“Boleh tahu ada kejadian apa sebenarnya di sini? Saya mencari Pak Drenadi pemilik rumah. Beliau menghubungi saya tadi pagi.”
“Anda belum tahu? Pak Dre tewas mengenaskan tertancap lampu gantung yang jatuh menimpanya di ruang tamu.”
Seketika, lututnya lemas dan bulu kuduk meremang.
“Kapan kejadiannya Pak?”
“Tepat sebelum asar.”
***
Malam sebelumnya ...
00.15
Pak Dre sedang menonton televisi ketika terdengar ketukan di kaca luar. Mula-mula pelan. Lelaki berusia enam puluh dua tahun itu bangkit dari kursinya dan memeriksa kaca jendela. Ah, mungkin hanya gesekan ranting pohon mangga di sebelah rumah.
Dia kembali ke kursinya dan menekuri layar kaca. Siklus hidupnya berubah sejak kematian putrinya. Jam tidurnya bergeser lebih banyak di siang hari dan malam hari dihabiskan untuk begadang membaca buku atau menonton acara televisi.
Kembali ketukan di kaca luar terdengar. Kali ini lebih cepat dan kencang. Pak Dre mengecilkan suara televisi dan fokus mendengarkan ketukan itu sambil meraih tongkat pemukul kasti dari bawah kursi malas. Dengan mengendap, Beliau bangkit dan mengintip dari balik jendela. Tidak ada seorang pun di luar. Hanya ada suara guruh di kejauhan, pertanda akan turun hujan.
Perasaan lelaki tua itu gelisah, telapak tangannya basah oleh keringat. Lampu tiba-tiba padam. Dalam keremangan malam, matanya nyalang menyesuaikan dalam gelap sambil mencari lampu darurat. Tangannya meraba ke sana-sini. Sesuatu mendekat dan menyerahkan ke tangannya lampu darurat mini. “Ini Ayah.” Suaranya lirih. Namun, terdengar jelas di telinga Pak Drew. “Angelina, Engkaukah itu!” teriaknya ngeri.
Dalam keremangan, muka pucat Angelina tampak begitu muram. Ia memakai baju pengantin putih yang panjangnya menyapu lantai. Senyum kecilnya datar, dengan netra mengeluarkan air mata darah dan tangan menunjuk ke arah Pak Dre.
“Tunggu giliranmu, Ayah.”
Pak Dre terperenyak. Tungkainya lemas tak sanggup menopang tubuhnya. Kengerian yang mencekam.
Rima jantungnya begitu hebat sehingga seolah ia dapat mendengar detaknya. Udara terasa hampa, waktu seperti berhenti ketika sesosok tinggi besar bermata satu menyeringai ke arahnya sambil memeluk Angelina dari belakang. Lonceng kematian yang dibawanya berdenting satu kali.
“The Master ...!” seru Pak Dre ketakutan.
***
Entah sudah berapa lama Pak Dre berada di lantai ruang televisi. Kepalanya terasa berat ketika pertama kali siuman. Lampu telah menyala dan azan subuh terdengar lamat dari masjid dekat rumah. Masih terngiang di telinga, suara lirih almarhum anaknya.
'Angelina ... maafkan ayahmu, Nak.' Bahunya yang renta mulai terguncang hebat. Tangisnya meledak. Penyesalan teramat dalam tak terelakkan. Sementara itu, cermin hias yang tergantung di atas nakas tertulis REVENGE dengan tinta merah serupa darah.
***
Dua puluh tiga tahun yang lalu
“Kamu sanggup dengan maharnya?”
“Sanggup, Mbah. Taruhannya enggak main-main. Darah anakmu pada usia tujuh belas tahun.”
“Apa pun Mbah, asal saya bisa bergelimang harta dan jabatan mentereng.”
“Baiklah, siapkan ayam cemani hitam dan telur angsa emas. ‘The Master' akan menunggumu tepat di bawah bulan purnama di tepi laut pantai Banten."
Tanpa berpikir panjang, Pak Dre menyanggupi permintaan dukun aliran hitam yang menjadi perantaranya dengan iblis.
Perkawinan yang sudah berjalan lima tahun belum juga menghasilkan keturunan sehingga ia nekat mengadakan perjanjian dengan iblis untuk mengejar ambisi kekayaan. Pak Dre pikir, ia dan istri tidak akan mempunyai keturunan karena dirinya divonis infertil oleh dokter.
Sejak saat itu ketenaran dan kesuksesan dapat diperoleh dengan mudah. Pak Dre dan istri hidup bergelimang harta benda. Namun, lima tahun kemudian Tuhan berkehendak lain. Istrinya tak selamat ketika melahirkan Angelina ke bumi.
Sejak saat itu, Pak Drew mengalami kecemasan berlebihan mengingat kerja samanya dengan iblis. Ia menyadari akan tiba waktunya, janji menumbalkan anak sendiri ditunaikan.
End.
Urband legend mengenai pesugihan.
Deg-degan bacanya pas malam...
ReplyDeleteApalagi saya yang nulis, mana tengah malam lagi hehehe
Deletehuwaaaaa lama aku ga baca beginian. . aku jadi pengen bikin novel juga jadinya
ReplyDeleteBikiiiin Mbak 😍
DeleteSyereem. Untung aku baca pas siang
ReplyDeleteXixixi uji nyali ya Mbak
Delete